PERSYARIKATAN MUHAMMADIYAH
GERAKAN YANG TAK PERNAH DIAM
DAN PERJUANGAN YANG TAK PERNAH BERHENTI
Sejarah Singkat Lahirnya Persyarikatan Muhammadiyah
Pengkajian dan
penelitian tentang `Muhammadiyah seperti tidak ada habis-habisnya. Muhammadiyah
ibarat satu bangunan rumah besar yang bisa dilihat dari berbagai sudut, sehingga
memunculkan banyak objek penelitian yang sangat penting untuk diteliti. Apalagi
Muhammadiyah itu bukan hanya begerak di bidang dakwah (Islam) semata, melainkan
satu gerakan praktis yang membumikan ajaran-ajaran Islam dalam realitas sosial
yang nyata. (Haedar Nashir, 2005)
Sejak awal,
gerakan Muhammadiyah telah berkecimpung dalam bidang sosial, terutama
pendidikan. Sekolah yang pertama didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada taun 1911
di Yogyakarta di selenggarakan dengan fasilitas yang amat sederhana. Sekolah
ini dinamakan Sekolah Muhammadiyah dan dilaksanakan di sebuah gedung, bukan di
surau seperti tradisi yang berlaku ketika itu, dengan menggunakan meja dan
papan tulis. Di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu agama dengan cara baru;
menggunakan huruf latin, ilmu hitung,
Ilmu Bumi, Ilmu tubuh Manusia, dan lain-lain, sebagaimana yang diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah.
Sekolah ini akhirnya menjadi embrio lahirnya sebuah gerakan yang terus mengalami
pertumbuhan dan perkembangan. Pada tanggal 8 Zulhijjah 1330 H, bertepatan
dengan tanggal 18 November 1912 M, Muhammadiyah resmi menjadi sebuah organisasi
(persyarikatan) dan berkedudukan di Yogyakarta yang diketuai langsung oleh KH.
Ahmad Dahlan sendiri.
KH. Ahmad Dahlah
mendirikan organisasi Muhammadiyah sebagai upaya penyempurnaan pemikiran beliau
dalam melaksanakan Islam dengan sebenar-benarnya. Sebelum resmi menjadi
organisasi, Muhammadiyah merupakan gerakan atau bentuk kegiatan dalam upaya amar ma’ruf nahi munkar secara bersama-sama
yang bermula di Kampung Kauman,
Yogyakarta. Kemudian secara tegas dinyatakan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah
tahun 2005, bahwa “Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf anih
munkar, dan tajdid, bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah. Muhammadiyah berazaskan
Islam dengan maksud dan tujuan untuk menggerakkan dan menjunjung tinggi agam
Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.”
Dalam mencapai
maksud dan tujuan serta mewujudkan misi yang ideal itu, Muhammadiyah melakukan
usaha-usaha yang bersifat pokok yang kemudian diwujudkan dalam amal usaha,
program, dan berbagai kegiatan. Adapun usaha-usaha Muhammadiyah sebagaimana
yang tercantum dalam Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah adalah sebagai berikut
; (1). Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan
pengamalan, serta menyebar luaskan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
(2). Memperdalam dan mengembangkan pengkajian ajaran Islam dalam berbagai aspek
kehidupan untuk mendapatkan kemurnian dan kebenarannya. (3). Meningkatkan
semangat ibadah, jihad, zakat, infak, wakaf, shadaqah, hibah, dan amal shalih
lainnya. (4). Meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas sumber daya Manusia
agar berkemampuan tinggi serta berakhlak mulia. (5). Memajukan dan memperbaharui
pendidikan dan kebudayaan, mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni,
serta meningkatkan penelitian. (6). Memajukan perekonomian dan kewirausahaan
kea rah perbaikan hidup yang berkualitas. (7). Meningkatkan kualitas kesehatan
dan kesejahteraan masyarakat, (8). Memelihara, mengembangkan, dan mendaya
gunakan sumber daya alam dan lingkungan untuk keesejahteraan. (9).
Mengembangkan komunikasi, ukhuwah, dan kerja sama dalam berbabergai didang dan
kelangan masyarakat dalam dan luar negeri. (10). Memelihara keutuhan Bangsa
serta berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (11). Membina dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas anggota sebagai pelaku gerakan. (12).
Mengembangkan sarana, prasarana, dan sumber dana untuk mensukseskan gerakan,
dan (13). Mengupayakan penegakan hokum, keadilan, dan kebenaran serta
meningkatkan pembelaan terhadap masyarakat.
Setiap
organisasi selalu memiliki ambisi untuk ekspansi. Begitu pula dengan Muhammadiyah.
Organisasi yang semula dimaksudkan untuk mengembangkan pengajian itu, pada akhirnya
berubah menjadi pergerakan dakwah dengan ekspansi yang cukup besar. Sewaktu
Muhammadiyah mulai melebarkan sayapnya ke Sumatera, maka salah satu persiapan
yang dianggap penting adalah mengganti bahasa pengantar yang semula berbahasa
Jawa, menjadi Bahasa Indonesia. Hal ini terjadi jauh sebelum Sumpah Pemuda
dicetuskan pada tahun 1928. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi
(Persyarikatan) memiliki visi sosial-religius telah pula banyak mewarnai perjalanan
sejarah nasional. Bahkan kontribusi Muhammadiyah terhadap pembangunan Bangsa
terasa sangat nyata. Bukan saja kontribusi berupa amal usaha yang jumlahnya ribuan,
tetapi Muhammadiyah juga telah menyumbangkan kader-kadernya melalui sederetan tokoh-tokoh
nasional. Banyak tokoh nasional yang telah berjasa terhadap Bangsa ini, baik
sewaktu memperjuangkan kemerdekaan maupun ketika mengisi pembangunan, mereka
adalah kader-kader terpilih persyarikatan Muhammadiyah.
Gagasan
Pembaharuan Muhammadiyah
Penyebutan Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-relligius
memang sangat beralasan mengingat Muhammadiyah banyak berperan penting dalam
perubahan kehidupan sosial keagamaan di Indonesia sejak awal berdirinya. Bahkan
menurut pengamat sosial, Alfian (1989), Muhammadiyah turut memainkan tiga peran
penting yang saling berkaitan, yaitu sebagai reformis-religious, sebagai agen
perubahan sosial (agent of social change)
dan sebagai kekuatan politik.
Nama-nama lain yang juga sering diberikan kepada Muhammadiyah
adalah seperti “gerakan Islam”, gerakan dakwah, dan gerakan Tajdid. Walau
pendiri dan para tokoh awal Muhammadiyah tidak menamakan organisasi ini sebagai
gerakan pembaharuan (tajdid), namun kemudian
para penulis sejarah memberikan identitas tersebut. Oleh karena itu, dipandang
perlu bagi Muhammadiyah untuk merumuskan istilah tersebut.
Pada tahun 1968, Muhammadiyah telah berusaha merumuskan
pengertian tajdid itu sebagai berikut ;
“Perkataan tajdid mempunyai dua makna, ialah dilihat
dari segi sasarannya. Pertama, berarti
pembaharuan yang bermakna mengembalikan kepada aslinya; yakni apabila tajdid
itu sasarannya mengenai soal-soal yang mempunyai sandaran, dasar, landasan, dan
sumber yang tidak berubah. Kedua,
berarti pembaharuan yang bermakna modernisasi, yakni apabila mempunyai sandaran
dasar, seperti metode, system, teknik, strategi, dan lain-lain, untuk
disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu. (Buletin Suara Muhammadiyah
No. 91/16 September 1969, hal. 3).
Muhammadiyah
Sebagai Kekuatan Politik
Sejak awal didirikannya pada tahun 1912, Muhammadiyah
sebagai organisasi sosial-keagamaan, sebenarnya telah terlibat dalam gerakan
politik jauh sebelum kemerdekaan. Pada masa ini Muhammadiyah memandang penting
untuk menjalin kerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda, misalnya dalam
bidang pendidikan, Muhammadiyah tidak menolak subsidi yang diberikan oleh
pemerintah Hindia Belanda. (Fajlurrahman jurdi, 2007)
Di masa
konfigurasi politik awal kemerdekaan, di seputar penyusunan Piagam Jakarta,
tokoh-tokoh Muhammadiyah secara langsung terlibat dalam perdebatan dengan kaum
nasionalis sekuler mengenai tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Anshari, 1996).
Keterlibatan
Muhammadiyah dalam pergumulan politik praktis di masa kemerdekaan merupakan
langkah paling berani dalam sejarah dan dinamikan perkembangan perpolitikan di
Indonesia. Di periode 1940 – 1950, keterlibatan Muhammadiyah dalam percaturan
politik ditunjukkan oleh partisipasi Ki Bagus Hadikusumo dan Kahar Muzakkir
dalam keanggotaan BPUPKI yang kemudian menjadi PPKI. Kepanitiaan BPUPKI yang
bertugas untuk merumuskan dasar Negara. Selanjutnya di periode 1952 – 1956,
Muhammadiyah memberi ketegasan kepada anggotanya untuk tidak terlibat dalam
aktivitas Parpol yang tidak berideologi Islam, baik secara aktif maupun pasif.
Bagi Muhammadiyah Parpol Islam adalah wadah perjuangan untuk menyalurkan
aspirasi umat.
Pada periode
1960-an, Muhammadiyah merespon kehidupan kebangsaan, terutama dengan munculnya
PKI sebagai gerakan yang memiliki hubungan erat dengan Presiden Soekarno. PKI
ketika itu begitu gigih mempengaruhi Soekarno untuk segera membubarkan Masyumi,
Muhammadiyah, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dianggap sebagai
penghalang wujudnya demokrasi terpimpin.
Pada periode
1969-1994, Muhammadiyah kembali ke Khittah perjuangan, yaitu memantapkan diri
sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang dakwah amar
ma’ruf nahi munkar. Secara resmi, melalui Khittah Ponorogo (1969) dan Muktamar
ke 38 di Ujung Pandang (1973), Muhammadiyah memproklamirkan diri tidak
mempunyai hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dengan suatu
partai politik manapun. Muhammadiyah ingin kembali memposisikan diri sebagai
gerakan Islam yang melakukan dakwa sosial kemasyarakatan, tanpa menjadi partai
politik atau berjuang dalam lapangan politik praktis. Langkah kembali ke
Khittah tahun 1912 itu kemudian dituangkan dalam konsep kepribadian Muhammadiyah.
(Haedar Nasir, 2000: 86)
James L. Peacock, seorang antropologi ternama
dari Amerika Serikat, melalui penelitiannya tahun 1970, member kesaksian
akademis yang cukup objektif dan menarik mengenai Muhammadiyah;
“Dalam setengah abad
sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan
cara yang berbeda di berbagai daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan
Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20
terdapat sejumlah pergerakan kecil-kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung
menjadi beberapa gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh,
Muhammadiyah. Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta
anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan
pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai
pergerakan yang memajukan agama Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah
memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarkatan dan pendidikan.
Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping
beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam
bidan kemasyarakatan, pendidikan, dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia.
“Aisyah, organisasi wanitanya, mungkin pergerakan wanita Islam yang terbesar di
dunia. Pendek kata, Muhammadiyah merupakan organisasi yang utama dan terkuat di
neara terbesar kelima di dunia.” (James L. Peacock, 1986. Hal, 26)
Oleh karenanya,
jika seluruh potensi mengoptimalkan kekuatan untuk menggerakkan Muhammadiyah,
maka gerakan ini akan mengukir berbagai prestasi. Semua ini tiada lain untuk
membawa Islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.
Nasrun minallah wa fathun qarib.
Sumber :
1.
Haedar Nasir, Meneguhkan Ideologi Gerakan
Muhammadiyah, UMM Press, Malang, cet. II, 2007.
2.
Drs. Sutarmo, M.Ag, Muhammadiyah- Gerakan
Sosial-Keagamaan Modernis, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2005.
3.
Fajlurrahman Jurdi, Aib Politik Muhammadiyah, Juxtapose,
Yogyakarta, 2007.
4.
Team Pembina, Muhammadiyah-Sejarah, Pemikiran, dan
Amal Usaha, PT. Tiara Wacara Yogya – UMM Malang, 1990.
5.
James L. Peacock, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan
Ajaran Islam di Indonesia, Cipta Kratif, Jakarta, 1986.
“Saatnya kita gali kembali peradaban yang telah lama tertimbun di liang
masa lalu, sebuah peradaban yang suci, cermin kebenaran, tapi dilumuri oleh
kejahilan para pembenci.
Kita
hidup dalam ketertindasan dan keterpasungan semangat, keberanian, dan harga
diri,hanya karena kesilauan sejarah yang dulu pernah gemilang di pentas dunia.”
Pertolongan hanya dari
Allah dan kemenangan itu dekat. (Zuyinah Munir, S.Ag)
Copas dari Tulisan Ervent Nilil F- Pku
Copas dari Tulisan Ervent Nilil F- Pku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar