Selasa, 30 Agustus 2011

MENGHARGAI PERBEDAAN


Kemarin, sejak sore menjelang maghrib anak-anak sudah berdatangan membawa kentongan dan obor ke Mushalla tempat kami biasa mengaji Al Qur’an sebelum datangnya bulan Ramadhan. Mereka sudah  siap melaksanakan takbiran untuk menyambut hari kemenangan. Tetapi kami masih menunggu keputusan dari pemerintah pusat tentang penetapan 1 syawal 1432 H. Anak2 sudah mulai riuh bahkan sudah ada yang mengumandangkan takbir meski tidak melalui pengeras suara. Tetapi kemudian dengan hati-hati aku cegah, aku katakan kepada mereka belum saatnya mengumandangkannya karena sidang penentuannya baru dilaksanakan dan belum ada keputusan. Kami juga tidak ingin membuat para tetangga makin gelisah mendengar suara takbir tapi belum ada keputusan dari pemerintah.
Sampai masuk waktu isya', kami memutuskan untuk melaksanakan shalat isya' berjamaah tanpa tarawih, karena memang belum ada kejelasan. Agak heran juga kenapa sidang isbat-nya begitu lama, tidak seperti tahun lalu menjelang isya' sudah ada hasilnya jadi masyarakat bisa segera memutuskan, sudah takbiran atau masih tarawihan. Selesai shalat isya' anak2 kami bubarkan dan kami katakan kepada mereka agar menyimpan tetabuhan dan obor mereka untuk dipakai takbiran besuk saja, agar mereka tidak terlalu kecewa. Meski agak kecewa akhirnya mereka meninggalkan mushalla, tetapi sepertinya tidak langsung pulang, ada beberapa yang masih duduk-duduk di pinggir jalan desa, dengan obor yang masih menyala mereka tampak bercengkerama seputar takbiran yang terpaksa harus tertunda.
Aku sangat bisa memaklumi mereka, itu wujud dari semangat menyambut hari raya, wajah-wajah polos tanpa dosa yang memerlukan  bimbingan dan sentuhan kasih sayang agar tumbuh menjadi generasi Islam yang bisa dibanggakan. Mereka perlu tahu bahwa acara takbiran keliling desa adalah salah satu cara kita berdakwah, mengumandangkan kalimat-kalimat tayyibah sebagai wujud ibadah kepada Allah, bukan sekedar berhura-hura menyambut datangnya hari raya.

Barangkali ini juga salah satu contoh kebingungan masyarakat dalam menyambut idul fitri tahun ini. Di daerah lain pasti juga banyak kejadian seperti ini karena menunggu keputusan pemerintah yang lumayan lama.
Selesai shalat isya aku menyempatkan menyaksikan jalannya sidang itsbat di TVRI salah satu TV yang masih setia menayangkan acara yang sebenarkan penting untuk diketahui masyarakat, tetapi sering dilewatkan oleh TV swasta karena dianggap tidak ada nilai jualnya. Setelah melalui adu argumentasi yang cukup panjang antara beberapa Ormas Islam, Ahli falak, MUI dan beberapa elemen masyarakat akhirnya palu diketok juga oleh Menteri Agama Surya Dharma Ali yang sekaligus juga sebagai hakim dalam sidang itsbat itu, yang memutuskan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2011, Keputusan yang terkesan lamban, karena baru diputuskan sekitar  pukul 20.30 WIB, berarti untuk WITA pukul 21.30 dan untuk WIT sudah pukul 22.30 (sudah mendekati tengah malam!!). Sangat tidak biasa memang dan tentu sudah membuat masyarakat menunggu dengan gelisah. Sebuah kesepakatan yang ternyata masih juga meyisakan perbedaan karena ada Ormas Islam yang tetap bersikukuh pada pendapat dan argumentasinya untuk merayakan Idul Fitri tahun ini pada hari selasa, tanggal 30 Agustus 2011, lagi-lagi sebuah fenomena yang menguji masyarakat untuk saling menghargai perbedaan, meskipun dengan saudara yang seiman. Sekali lagi kita belajar saling menghormati dan menghargai keberagaman dengan saudara sendiri, sehingga diperlukan kelapangan hati dan sikap berhati-hati dan menahan diri untuk tidak saling menyalahkan dan merasa benar sendiri. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanyalah milik Allah Swt.

Sebenarnya dibalik lambannya sidang Isbat yang berlangsung tadi malam kalau dicermati ada banyak pelajaran yang bisa didapatkan, daripada sekedar melontarkan kecaman demi kecaman, karena bila boleh jujur dan berandai-andai orang-orang yang mengecam bila diajak duduk bersama dalam sidang yang sama tentu akan melakukan hal yang tidak jauh berbeda, jadi akan lebih bijaksana jika kata-kata kecaman diubah menjadi saran atau jalan pemecahan untuk pemerintah pada tahun-tahun yang akan datang.  Bukan perkara yang mudah memang memutuskan suatu perkara diantara banyak perbedaan. Meski sebelumnya berbagai cara pasti sudah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi perbedaan. Tapi tetap saja pada hari H perbedaan itu menyulut perdebatan yang cukup panjang. Tentu pemerintah masih perlu berpikir keras bagaimana di tahun-tahun mendatang tidak ada lagi perbedaan antar umat Islam sendiri dalm melaksanakan puasa dan idul fitri juga hari raya Idul Adha, tentu ada mekanisme yang bisa menyatukan suara diantara ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia. Dan sebisa mungkin menghindari adanya keresahan di masyarakat. Seperti diungkapkan salah satu pendapat dalam sidang tadi malam, sebenarnya perbedaan itu adalah hal sangat biasa dan kita sangat sering mengalaminya, hanya yang menjadi permasalahannya bagaimana supaya tidak menyebabkan masyarakat gelisah. Diantaranya adalah denga cara: Penyampaian keputusan tentang pelaksanaan Idul fitri dilaksanakan bersama-sama antara Ormas yang berbeda dengan pemerintah, bukan jauh-jauh hari sebelumnya sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebuah perbedaan, selain merupakan rahmat sebagaimana pernah disabdakan Rasulullah Saw: “Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”, juga merupakan ujian kesabaran bagi kita untuk saling menghormati dan menghargai pendapat dan “keyakinan” yang berbeda diantara sesama saudara. Tetapi dibalik semua itu,  perbedaan terutama dalam pelaksannan Idul Fitri pasti menyisakan KERINDUAN di hati seluruh umat Islam di Indonesia. Kerinduan untuk bisa melaksanakan Hari raya Idul Fitri bersama-sama, melaksanakan shalat Id dalam satu kebersamaan yang indah, kemudian saling berjabat tangan dan saling memaafkan. Yang melaksanakan merayakan idul fitri lebih dahulu pasti sebenarnya juga tidak ingin mendahului saudaranya sendiri. Dan yang merayakan belakangan juga pasti tidak merasa sakit hati karena masih harus menunda merayakannya, mungkin justru gembira karena masih belum berpisah dengan bulan ramadhan yang mulia. Ini barangkali hanya karena ketaatan kita kepada “Imam” yang selama ini kita percayai “kesaktian” ilmunya. Meski itu bukan berarti taklid buta. Jadi alangkah indahnya seandainya suatu ketika nanti para Imam kita itu benar-benar duduk bersama-sama untuk menyatukan perbedaan dan menguatkan kebersamaan serta rasa persatuan diantara umat Islam untuk mencapai Ridha Allah semata. *Wallahu A’lam Bisshawab*.