Kemarin,
sejak sore menjelang maghrib anak-anak sudah berdatangan membawa kentongan dan
obor ke Mushalla tempat kami biasa mengaji Al Qur’an sebelum datangnya bulan
Ramadhan. Mereka sudah siap melaksanakan
takbiran untuk menyambut hari kemenangan. Tetapi kami masih menunggu keputusan
dari pemerintah pusat tentang penetapan 1 syawal 1432 H. Anak2 sudah mulai riuh
bahkan sudah ada yang mengumandangkan takbir meski tidak melalui pengeras
suara. Tetapi kemudian dengan hati-hati aku cegah, aku katakan kepada mereka
belum saatnya mengumandangkannya karena sidang penentuannya baru dilaksanakan
dan belum ada keputusan. Kami juga tidak ingin membuat para tetangga makin
gelisah mendengar suara takbir tapi belum ada keputusan dari pemerintah.
Sampai masuk waktu isya', kami memutuskan untuk melaksanakan shalat isya' berjamaah tanpa tarawih, karena memang belum ada kejelasan. Agak heran juga kenapa sidang isbat-nya begitu lama, tidak seperti tahun lalu menjelang isya' sudah ada hasilnya jadi masyarakat bisa segera memutuskan, sudah takbiran atau masih tarawihan. Selesai shalat isya' anak2 kami bubarkan dan kami katakan kepada mereka agar menyimpan tetabuhan dan obor mereka untuk dipakai takbiran besuk saja, agar mereka tidak terlalu kecewa. Meski agak kecewa akhirnya mereka meninggalkan mushalla, tetapi sepertinya tidak langsung pulang, ada beberapa yang masih duduk-duduk di pinggir jalan desa, dengan obor yang masih menyala mereka tampak bercengkerama seputar takbiran yang terpaksa harus tertunda.
Aku sangat bisa memaklumi mereka, itu wujud dari semangat menyambut hari raya, wajah-wajah polos tanpa dosa yang memerlukan bimbingan dan sentuhan kasih sayang agar tumbuh menjadi generasi Islam yang bisa dibanggakan. Mereka perlu tahu bahwa acara takbiran keliling desa adalah salah satu cara kita berdakwah, mengumandangkan kalimat-kalimat tayyibah sebagai wujud ibadah kepada Allah, bukan sekedar berhura-hura menyambut datangnya hari raya.
Sampai masuk waktu isya', kami memutuskan untuk melaksanakan shalat isya' berjamaah tanpa tarawih, karena memang belum ada kejelasan. Agak heran juga kenapa sidang isbat-nya begitu lama, tidak seperti tahun lalu menjelang isya' sudah ada hasilnya jadi masyarakat bisa segera memutuskan, sudah takbiran atau masih tarawihan. Selesai shalat isya' anak2 kami bubarkan dan kami katakan kepada mereka agar menyimpan tetabuhan dan obor mereka untuk dipakai takbiran besuk saja, agar mereka tidak terlalu kecewa. Meski agak kecewa akhirnya mereka meninggalkan mushalla, tetapi sepertinya tidak langsung pulang, ada beberapa yang masih duduk-duduk di pinggir jalan desa, dengan obor yang masih menyala mereka tampak bercengkerama seputar takbiran yang terpaksa harus tertunda.
Aku sangat bisa memaklumi mereka, itu wujud dari semangat menyambut hari raya, wajah-wajah polos tanpa dosa yang memerlukan bimbingan dan sentuhan kasih sayang agar tumbuh menjadi generasi Islam yang bisa dibanggakan. Mereka perlu tahu bahwa acara takbiran keliling desa adalah salah satu cara kita berdakwah, mengumandangkan kalimat-kalimat tayyibah sebagai wujud ibadah kepada Allah, bukan sekedar berhura-hura menyambut datangnya hari raya.
Barangkali
ini juga salah satu contoh kebingungan masyarakat dalam menyambut idul fitri tahun
ini. Di daerah lain pasti juga banyak kejadian seperti ini karena menunggu
keputusan pemerintah yang lumayan lama.
Selesai
shalat isya aku menyempatkan menyaksikan jalannya sidang itsbat di TVRI salah
satu TV yang masih setia menayangkan acara yang sebenarkan penting untuk
diketahui masyarakat, tetapi sering dilewatkan oleh TV swasta karena dianggap
tidak ada nilai jualnya. Setelah melalui adu argumentasi yang cukup panjang
antara beberapa Ormas Islam, Ahli falak, MUI dan beberapa elemen masyarakat akhirnya
palu diketok juga oleh Menteri Agama Surya Dharma Ali yang sekaligus juga sebagai
hakim dalam sidang itsbat itu, yang memutuskan bahwa 1 Syawal 1432 H jatuh pada
hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2011, Keputusan yang terkesan lamban, karena baru
diputuskan sekitar pukul 20.30 WIB, berarti untuk WITA pukul 21.30 dan
untuk WIT sudah pukul 22.30 (sudah mendekati tengah malam!!). Sangat tidak
biasa memang dan tentu sudah membuat masyarakat menunggu dengan gelisah. Sebuah
kesepakatan yang ternyata masih juga meyisakan perbedaan karena ada Ormas Islam
yang tetap bersikukuh pada pendapat dan argumentasinya untuk merayakan Idul
Fitri tahun ini pada hari selasa, tanggal 30 Agustus 2011, lagi-lagi sebuah
fenomena yang menguji masyarakat untuk saling menghargai perbedaan, meskipun
dengan saudara yang seiman. Sekali lagi kita belajar saling menghormati dan
menghargai keberagaman dengan saudara sendiri, sehingga diperlukan kelapangan
hati dan sikap berhati-hati dan menahan diri untuk tidak saling menyalahkan dan
merasa benar sendiri. Karena kebenaran yang sesungguhnya hanyalah milik Allah
Swt.
Sebenarnya
dibalik lambannya sidang Isbat yang berlangsung tadi malam kalau dicermati ada
banyak pelajaran yang bisa didapatkan, daripada sekedar melontarkan kecaman
demi kecaman, karena bila boleh jujur dan berandai-andai orang-orang yang
mengecam bila diajak duduk bersama dalam sidang yang sama tentu akan melakukan
hal yang tidak jauh berbeda, jadi akan lebih bijaksana jika kata-kata kecaman diubah
menjadi saran atau jalan pemecahan untuk pemerintah pada tahun-tahun yang akan
datang. Bukan perkara yang mudah memang
memutuskan suatu perkara diantara banyak perbedaan. Meski sebelumnya berbagai
cara pasti sudah dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi perbedaan. Tapi
tetap saja pada hari H perbedaan itu menyulut perdebatan yang cukup panjang. Tentu
pemerintah masih perlu berpikir keras bagaimana di tahun-tahun mendatang tidak
ada lagi perbedaan antar umat Islam sendiri dalm melaksanakan puasa dan idul
fitri juga hari raya Idul Adha, tentu ada mekanisme yang bisa menyatukan suara
diantara ormas-ormas Islam yang ada di Indonesia. Dan sebisa mungkin
menghindari adanya keresahan di masyarakat. Seperti diungkapkan salah satu
pendapat dalam sidang tadi malam, sebenarnya perbedaan itu adalah hal sangat
biasa dan kita sangat sering mengalaminya, hanya yang menjadi permasalahannya
bagaimana supaya tidak menyebabkan masyarakat gelisah. Diantaranya adalah denga
cara: Penyampaian keputusan tentang pelaksanaan Idul fitri dilaksanakan
bersama-sama antara Ormas yang berbeda dengan pemerintah, bukan jauh-jauh hari
sebelumnya sehingga tidak menimbulkan keresahan di masyarakat.
Sebuah
perbedaan, selain merupakan rahmat sebagaimana pernah disabdakan Rasulullah
Saw: “Perbedaan di antara umatku adalah rahmat”, juga merupakan ujian kesabaran
bagi kita untuk saling menghormati dan menghargai pendapat dan “keyakinan” yang
berbeda diantara sesama saudara. Tetapi dibalik semua itu, perbedaan terutama dalam pelaksannan Idul
Fitri pasti menyisakan KERINDUAN di hati seluruh umat Islam di Indonesia.
Kerinduan untuk bisa melaksanakan Hari raya Idul Fitri bersama-sama,
melaksanakan shalat Id dalam satu kebersamaan yang indah, kemudian saling
berjabat tangan dan saling memaafkan. Yang melaksanakan merayakan idul fitri
lebih dahulu pasti sebenarnya juga tidak ingin mendahului saudaranya sendiri.
Dan yang merayakan belakangan juga pasti tidak merasa sakit hati karena masih
harus menunda merayakannya, mungkin justru gembira karena masih belum berpisah
dengan bulan ramadhan yang mulia. Ini barangkali hanya karena ketaatan kita
kepada “Imam” yang selama ini kita percayai “kesaktian” ilmunya. Meski itu
bukan berarti taklid buta. Jadi alangkah indahnya seandainya suatu ketika nanti
para Imam kita itu benar-benar duduk bersama-sama untuk menyatukan perbedaan
dan menguatkan kebersamaan serta rasa persatuan diantara umat Islam untuk
mencapai Ridha Allah semata. *Wallahu A’lam Bisshawab*.